Rabu, 21 Juli 2010

Cerita ini pernah di muat dalam harian Suara Merdeka, kemudian ada sahabatku yang mengirim lagi untuk ku dan aku posting di MP yang sudah ku delet :D

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil.
Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan
punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik,
tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan, semua gadis di
sekelilingku memilikinya. Aku mencuri lima puluh sen dari laci
ayahku. Dan Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan
aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di
tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku,
terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun
mengaku, jadi Beliau mengatakan,
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
"Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi.

Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya
sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan
memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ...
Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami.
Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata
setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai
menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan
kecilnya dan berkata,

"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup
keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih
kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa
tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia
8 tahun Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun
terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat
kabupaten.

Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah
universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman,
menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya
mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang
begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air
matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya?

Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"Saat
itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,
"Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup
membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan
jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan
menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" dan begitu kemudian
ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku
menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang
membengkak, dan berkata,

"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak
ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke
universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh
datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian
lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke
samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas
bantalku:

"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi
mencari kerja dan mengirimu uang."Aku memegang kertas tersebut
di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata ber-
cucuran sampai suaraku hilang.

Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang
ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan
dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku
akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas) .

Suatu hari,aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan
memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar
sana!"Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan
keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor
tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu
tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang
akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa
mereka tidak akan menertawakanmu?"Aku merasa terenyuh, dan air
mata memenuhi mataku.knp?

Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat
dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu
adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun
penampilanmu. .."Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit
rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus
menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi
saya pikir kamu juga harus memiliki satu."Aku tidak dapat
menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam
pelukanku dan menangis dan menangis.

Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23. Kali pertama aku membawa
pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan
kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku
menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu
menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"

Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang
awal untuk membersihkan rumah ini.Tidakkah kamu melihat luka
pada tangannya?
Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."Aku masuk ke
dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus
jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada
lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku
menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit.Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi
konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu.
Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."Ditengah kalimat
itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air
mata mengalir deras turun ke wajahku.

Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.Ketika aku menikah, aku
tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang
tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak
pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka
tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga,
mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu
dan ayah di sini."Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami
menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada
departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah
kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah
sakit.

Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada
kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya
seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
keputusannya.

"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya
hampir tidak berpendidikan.
Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang
akan beredar?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku
yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena
aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku.

Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.Adikku kemudian berusia 30
ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam
acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa
bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang
bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia
berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya
berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke
rumah.

Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu
saja dan berjalan sejauh itu.Ketika kami tiba di rumah,
tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin
sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya.
Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya
akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."Tepuk tangan membanjiri
ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.Kata-
kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku,
orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam
kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan
perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti
sungai.

Posted by ajeng agustin primastiwi in family from MFB
lets join in MFB with me in http://www.millatfacebook.com/ALIYAH25/